Segala sesuatu dimulai dari melihat. Karena sesuatu baru ada ketika kita melihatnya. Dari melihat lah muncul penafsiran, walau pada awalnya masih samar-samar, tidak jelas, atau menampak tidak punya makna apa-apa. Penafsiran mulai mengaktual ketika dimasukkan dalam ruang visual dimensi mata kita sebagai stimuli indera. Sesungguhnya penafsiran itu ada di sekitar kita, bahkan yang berdetak dalam diri kita seperti degup jantung dan rasa nafas kita sekalipun. Sumber-sumber penafsiran ada di dalam kesekarangan dan kedisinian kita. Masalahnya adalah sudahkah, atau maukah kita melihat, mendengarkan, merasakan, mencecap apa-apa yang ada pada dan di sekitar kita? Itulah kata-kata yang saya terima ketika mengenal bahasa “seni” dari Dwi Marianto ketika kuliah dulu, walau tafsiran itu sering ku tak mengerti…
Keberanian menjejak kumpulan karya seni di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dalam frame “Biennale Jogja XI-Equator#1 – Shadow Lines : Indonesia Meets India” menyadarkan langkah ini bahwa seni dapat berasal dari langkah berani untuk mengenal dan membuka dimensi indera, untuk mengenal hasil cipta manusia, mengenal estetika kehidupan selain ruang matematis-ilmiah. Ruang visual sudah terbuka ketika kuparkirkan motor shogun, disertai hujan dibulan Desember diriku berlari kecil menuju pelataran seni Bienalle, di pelataran TBY ini, simbol-simbol seni mulai diperkenalkan bahwa ruang ini membawa orang-orang yang datang untuk saling berkumpul dan mengenal dua budaya. Jelas terlihat dalam tema yang diangkat di ruang Biennale Jogja di TBY berupaya untuk mempresentasikan nilai-nilai Ke-In (dalam) -donesia dan –dia, dimana seniman dari dua Negara menerjemahkan dan menafsirkan kondisi kekinian mereka, mereka memantulkan pengalaman personal mereka dan juga kondisi wacana politik yang terjadi didalam ruang pengalaman mereka sehari-hari. Continue reading ‘Sejenak Mengenal “Seni” dari Ke-In-(donesia/ dia) : Di Biennale Jogja XI’
Komentar Kawanrama